RSS

Membangun Kenangan dengan Secangkir Teh

22 Sep
Tea Pairing

Tea Pairing

WARNING

Postingan ini bakal panjang buanget, so siapin cemilan heheheh

Afternoon tea selalu mengingatkan saya pada Lima Sekawan.  Buku karya Enid Blyton itu adalah buku favorit saya ketika masih duduk di SD. Sepulang sekolah, saya mengayuh sejauh 2 kilometer demi meminjam di rental buku langganan. Pun ketika bisa menyisihkan uang saku, saya masih harus berjuang membelinya di toko buku favorit di pusat kota. Kenangan itu tak terlupakan, dan saya selalu mengasosiasinya dengan secangkir teh dan makanan ringan favorit Lima Sekawan.

Adalah Anne, satu-satunya anggota Lima Sekawan yang paling feminin, yang piawai menyiapkan kudapan. Di tengah petualangan kelompok mereka, Anne selalu tak lupa menyiapkan makanan untuk saudara-saudaranya serta Timmy, anjing George, sepupu Anne.  Bahkan, ketika petualangan memuncak, Anne  selalu ngotot agar  mereka makan dahulu. Dari buku inilah saya mengenal limun dan kue jahe, cemilan favorit mereka yang selalu ada di setiap acara minum teh sore.

Saya selalu membayangkan, suatu saat saya bisa minum teh sore dengan aura kehangatan dan persahabatan seperti Lima Sekawan. Tapi, kenyataan ternyata tak seindah itu ya hehehe…. Saya minum teh di jembung (mug besar) yang diseduh untuk seluruh keluarga, saya, ibu, dan bapak saya (dan adik saya yang masih satu dan kecil ketika itu). Sepulang sekolah, saya menikmati teh dingin yang kental dan manis. Satu hal yang tak pernah saya lupa, setiap meneguk teh, ampasnya yang pahit  selalu ikut terhirup. Tak jarang bentuknya bukan daun teh, tapi batang pohon teh, menggangu sekali.  Teh dalam jembung itu mulai jarang kami nikmati ketika bapak mulai memilih kopi. Jembung besar itu tak seindah pengalaman Lima Sekawan, tapi pengalaman minum teh itu sama saja tak terlupakan bagi saya.

Dua minggu lalu, saya berkesempatan menyaksikan langsung Real High Tea Competition (RHTC) Cafe and Restaurant 2015 yang digelar Dilmah di delapan resto dan kafe  di Bandung. Pengalaman ini tak terlupakan bagi saya. Satu hal yang paling saya inget adalah obrolan saya dengan Bu Eliawati Erly, Brand Ambassador DilmahIndonesia sekaligus wakil PT David Roy Indonesia, yang menjadi juri RHTC,

“Teh yang bagus di Indonesia malah kebanyakan di ekspor, orang Indonesia justru minum teh kualitas rendah, bahkan batangnya.”

Jederrrr!!!! *pingsan tujuh kali*. Berarti teh yang terkenang-kenang dalam jembung dan saya nikmati setiap hari ketika kecil adalah teh berkualitas rendah. Saya jadi penasaran kan teh yang mahal seperti apa? Kesempatan menikmati teh “kelas tinggi” pertama kali ketika technical meeting RHTC di Luxton Hotel, Dago. DI situlah pertama kali lidah ndeso saya mengenal istilah teapairing, memadukan teh dengan makanan tertentu dan mendapatkan sensasi di lidah yang benar-benar berbeda. Ketika itu, kami disuguhi sepotong opera cake dan mint tea. Hebatnya, ada sensasi berbeda ketika saya mengunyah cake dulu baru minum teh atau sebaliknya. Bedanya bagaimana sih mbak eeee? Aduh susah dijelaskan dengan kata-kata. Pokoknya lidah saya yang ruwet sama makanan bule aja menerima, yang artinya luar biasa.

Karena ikut wara wiri sama tim Dilmah selama dua hari itu, saya juga jadi baru tau kalau afternoon tea adalah istilah yang sama dengan low tea. Langsung saya manggut-manggut mengingat buku yang saya baca seminggu sebelumnya. Agatha Crhistie, penulis favorit saya sepanjang masa, hampir selalu menggambarkan momen minum teh sebagai suatu hal yang sakral. Ketika Detektif Hercule Poirot mengunjungi salah seorang klien bangsawannya di waktu minum teh, Agatha Christie menggambarkannya dengan detail.  Jujur saya tak ingat judul buku yang saya baca, tapi saya mengingat ketika Poirot menggambarkan sang nyonya bangsawan menikmati teh dengan teman pie daging babi di meja duduk sebelahnya.  Ibarat tokoh film kartun, sel kelabu saya langsung mengeti, itulah makna low table, meja pendek di sebalah kursi santai.

Sementara itu, high tea yang awalnya saya bayangkan sama dengan  afternoon tea ternyata sedikit berbeda. High tea  dilakukan di meja lebih tinggi dari meja kopi, biasanya di meja makan. Pairing untuk tehnya pun biasanya makanan berat dengan citarasa gurih. Ketika mengunjungi Porto Resto, saya tertarik sekali dengan satu menunya, Cocotte de Saumon. Cocotte de saumon yang di-pairing dengan Lapsang Souchong Tea,  menggunakan 2 jenis telur serta telur ayam sebagai cangkangnya. Ketika Chef Eric Lowell menjelaskan bahwa Porto adalah telur menggambarkan kelahiran, sekonyong-konyong kenangan ketika melahirkan terbit kembali. Ada perasaan berdebar yang sama ketika menunggu bukaan lengkap. Lagi-lagi, momen kebersamaan dengan teh Dilmah membawa saya hanyut pada kenangan tak terlupakan.

Real High Tea Challenge Dilmah

Cocotte de Saumon, telur puyuh dan telur ikan dalam cangkang telur ayam, yang menggambarkan kelahiran. 

Ketika bergeser ke Kirbs Tea Room di PVJ, saya terkesan sekali dengan Claire, owner Kirbs.  Meski tak punya kitchen, Claire menyajikan makanan makanan yang menggoyang lidah dua juri, Chef Nanda Hamdallah dan Ibu Eliawati Erly. Saya paling suka konsep Alice in Wonderland yang disajikan Kirbs. Secara pribadi, saya juga mengagumi pengetahuan Claire tentang teh yang sangat luas. Motivasi utamanya mengikuti RHTC ini adalah untuk emperkenalkan manfaat teh ke masyarakat luas.

“Tidak cuma kopi yang memiliki banyak manfaat, teh juga nggak kalah,” ungkap perempuan berambut cepak ini.

real high tea challenge dilmah

Pojok Alice in Wonderlan Kirbs Tea room dalam Dilmah Real High Tea Challenge.

Bila dirunut, teh memang memiliki segudang manfaat. Selain baik untuk emncegah kanker, teh juga bisa meredakan stress, dan menyehatkan jantung. Selain itu, teh bisa juga untuk mencegah flu, mempertajam pikiran, serta melincungi tulang dan sendi. Menurut Ibu erly, teh juga baik untuk metabolisme.

“Apalagi Dilmah ini real tea ya, tidak ada campuran, minum sedikit saja kita bisa langsung pengen ke belakang (buang air kecil-penulis),” ungkap perempuan yang asli Bandung ini.

***

TEH DI INDONESIA

Warung makan khas Sunda selalu memberikan teh tawar hangat sebagai minuman gratis. Tapi, Anda harus membayar bila ingin teh manis. Dengan radar pengiritan tiada tara yang terinpirasi dari founder IKEA, Ingvar Kamprad, saya mengantongi gula  hanya demi teh gratis hahaha… For your information, teh tawar gratis, teh manis bayar ini baru saya temui di tatar Sunda saja. Di daerah Jawa Timur, tempat saya lahir dan besar, setiap memesan teh default-nya adalah teh manis. sampai situlah pengalaman nge-teh saya, cetek kalau kata orang Betawi mah.

Budaya nge­-teh di Indonesia memang belum familiar. Berbeda dengan cafe yang menyajikan teh, belum banyak restoran yang menyediakan menu afternoon tea atau high tea dalam daftar menu mereka. Kalaupun mulai banyak hotel berbintang yang menawarkan menu nge-teh, harganya ga ramah di kantong sebagian orang Indonesia. Padahal, sekali lagi, afternoon party bukanlah budaya tanpa manfaat. Lihatlah kemacetan di Jakarta setiap sore, mengapa tidak melepas waktu sejenak untuk ­nge-teh sembari menunggu lalu lintas normal?

Teh tak seperti kopi yang punya latte art dan sangat instagenic. Ketika teh terhidang, yang ada hanya obrolan dan kehangatan. Bukan smartphone yang berlomba mengabadikan latte art sebelum terlambat, lalu memasang hashtag #fotokopi *bok, siapa ya yang begitu?* :p*.  Bagi saya, ke-fancy-an teh hanya terletak di cangkirnya. Saya jadi mengingat Henrietta, salah satu toko dalam NCIS Los Angeles yang akhir-akhir ini jadi favorit saya, ia mengoleksi cangkir-cangkir teh cantik demi mendapatkan sensai afternoon tea ala British. Atau ketika saya merasa kecewa karena Bae Yong Joon menikah, saya menonton kembali Winter Sonata dan mendapati ternyata generasi awal drama Korea selalu diisi dengan adegan minum teh dengan cangkir-cangkir cantik ala Korea. Meski saya sudah menontonnya berulang kali, tapi ketika mendapati teh dan cangkir cantik, saya selalu terkenang akan Winter Sonata, teh hangat, salju, dan kebersamaan *cieeeee…. gubraks*.

***

Teh, memang selalu membangkitkan kenangan indah. Saya lalu mengerti sepenuhnya mengapa Merrill J. Fernando, founder Dilmah tea memberi nama Dilmah pada perusahaan teh yang dibangunnya, nama yang merupakan singkatan dari dua nama anaknya, Dilhan dan Malik. Mungkin, ia ingin mengenang momen terbaik dengan dua putranya. Harapannya ketika memberi nama tersebut, dua putranya akan mengikuti jejaknya membawa teh kualitas terbaik ke seluruh dunia. Dan kini, setelah 25 tahun membangun Dilmah, dua putra Merril J. Fernando bergabung dengan ayahnya, membawa teh Srilanka pada kejayaan sebenarnya di lebih dari seratus negara.  RHTC kali ini adalah salah satu kiprah Dilmah. Untuk perjuangan Dilmah, saya salut sepenuhnya.

 

***

Tulisan ini saya buat dalam perjalan menuju ibukota Jawa Tengah, Semarang. Saya coba iseng-iseng dengan melakukan pairing antara chamomile tea dan Tahu Sumedang. Entah hanya perasaan saya atau memang begitulah adanya, tahu Sari Bumi favorit kami sekeluarga terasa lebih gurih. Momen ini tak akan pernah saya lupakan, apalagi ketika kami benar-benar melewati jalur pantai utara Jawa (Pantura).  Pantura yang katanya kejam dan rawan benar-benar kami rasakan. Bagaimana saya akan lupa ketika kami berada di jalur yang benar sekonyong-konyong muncul bus dari arah berlawanan, memakan jalur kami. Beberapa detik saya menahan nafas dan berdoa, semoga chamomile tea Dilmah ini bukanlah teh terakhir yang saya nikmati. Aminnn…

 

Foto-foto yang saya ambil dengan gaya kuda-kuda hehehe… cangkeul juga, tapi puas sama hasilnya. Bersama tim DIlmah dua hari tak terlupakan, nuhun pisan ^_^

 
14 Comments

Posted by on September 22, 2015 in Cerita dari Dapur Hangus, Icip icip

 

Tags: , ,

14 responses to “Membangun Kenangan dengan Secangkir Teh

  1. setiawatiwang

    September 23, 2015 at 9:47 am

    Selalu suka baca tulisannya mba.

     
  2. TheFood Xplorer

    September 23, 2015 at 11:32 am

    Teh dan Tahu Sumedang? Superb sekali mbak Ika ^^!
    Btw suka gaya tulisannya haha.

     
  3. neng fey

    September 23, 2015 at 4:27 pm

    jauh lah mem sar*wa**i ama dilmah, dilmah kemana2 lah, favorit ya si mint itu, ga ada yg ngalahin memori latar belakang waktu pertama kali minum dilmah itu, klo perlu sampe nangis dah ngebayanginnya, happy moment bgt pokoknya
    tepuk tangan dulu deh, akhirnya update lg ya blognya hihihi

     
    • Ika Rahma

      September 27, 2015 at 8:43 pm

      tapi eh tapi, pengalaman pertamaku justru ga menyenangkan, minum peppermint tea serasa nyeduh minyak kayu putih. Aslinya hahaha

       
      • neng fey

        September 28, 2015 at 2:21 pm

        hahahahaha cuman aku doang kali yang demen si pepermint hohohohoho

         
  4. Aninda

    September 23, 2015 at 8:21 pm

    Belum pernah minum Dilmah ini. Mahal ya mba? Kalo di rumah ibu minum teh ternyata bener campur batang kirain emang teh semua gitu. Hahaha

     
    • Ika Rahma

      September 27, 2015 at 8:42 pm

      dibanding Sariwangi sih lumayan pricey. Kalo di kafe dijual sekitar 16rb belum tax

       
  5. pipit

    September 25, 2015 at 1:19 pm

    pengen tau dilmah mana cocok ama makanan mana, gimana caranya ya?

    saya kalo ngeteh seperti orang sini pada umumnya.. dengan gula yang banyak.. padahal mestinya tanpa gula ya?

     
    • Ika Rahma

      September 27, 2015 at 8:46 pm

      aku pun suka yg pake gula mbak. Kalo pairing aku sih baru ngalamin sekali. DIlmah punya sekolah di Sri Lanka sana yang khusus mempelajari teh dan pairing ini.

       
  6. Dian

    September 26, 2015 at 11:25 pm

    Mba,buka workshop food photography untuk pemula dong…saya tertarik dan pengen belajar

     
    • Ika Rahma

      September 27, 2015 at 8:41 pm

      udah sering kok mbak 😀

       
  7. mamaboetobi

    November 8, 2015 at 12:01 am

    Aaaah.. Fotonya cakep2 mbaaa.. Aku sekarang hanya mengandalkan hp aja foto heheehhe… But seems like you have all the fun with Dilmah 🙂

     

Leave a reply to Ika Rahma Cancel reply