RSS

Chef Abal-abal Jadi “Penulis”

30 Jun
Chef Abal-abal Jadi “Penulis”

Ketika merencanakan membuat blog ini, pas banget nemu lomba nulis yang isinya pengalaman masak. Saya berbinar-binar mengingat hadiahnya adalah gadget daput yang sampe sekarang pun saya belum punya, MIXER :D. Sayang saya ga dapet mixer, tapi ternyata beberapa tulisan pemenang dibukuin dan sekarang bukunya udah terbit.

Biarpun jelek, saya udah pernah nulis buku *bangga sampe kiamat*. Bukan karena saya penulis, bukan karena suka nulis, dan bukan karena pengen eksis. Saya cuma beruntung bisa menulis. Beruntung punya komputer, punya laptop, punya BB yang sinyalnya senen kemis, beruntung dan bersyukur pokoknya *sholehah mode on :D*.

Oh ya, ini buku pertama dari Grup HHBF di Facebook, nah nanti katanya ada buku ke-2 juga yang isinya resep-resep. Tapi saya ga ikut-ikutan nulis lagi, yang nulis admin HHBF aja.

Nah ini penampakan tulisan saya di buku, ga pa pa ya narsis dikit. Ga perlu beli, tapi kalo borong boleh dong! *modus :p*. Cakep ya di ilustrasinya biar dapurnya hangus juga, mana ovennya gede kan. Ih di dapur saya mana ada oven segede itu, adanya mesin cuci. Memang dapur saya salah fokeus sih, ga jelas dapur ama londri, abisnya rumahnya cuma seiprit sih ya.

Sambil malangkrik :p

Tulisan saya yang masuk buku kayak apa sih? Apa harus beli bukunya? Nggak harus sih kalau cuma mau baca tulisan saya, tapi kalau mau baca hal-hal bermanfaat lain, buku ini wajib di beli (saya juga jual, gitu kira-kira lanjutannya :p). Buat yang mau MPASI atau MPASU, harus punya lah yaaaa…. Kalau cuma mau baca tulisan saya, di bawah ini tak lampirkeun kok, versi asli tanpa diedit. Kalau mau versi diedit ya beliiiiiii dongggg! Semoga para juri ga nyesel ya milih tulisan saya masuk di buku :D.

***

Dapur Hangus, Surat Cinta untuk Violeta
Oleh: Ika Rahma

Hidup saya sempurna, setidaknya begitulah menurut saya. Punya bisnis idaman, kuliah di jurusan yang menyenangkan, menikah dengan mantan atasan yang lucu dan imut-imut (uhuk-uhuk, pssttt….jangan kasih tahu suami saya ya! :p), serta Rahmania Violeta Corleone sang guru kecil yang menakjubkan.

Sampai di situ semua masih sempurna kan? Sayangnya kesempurnaan itu mulai goyah ketika Vio berusia 5 bulan. Artinya H-30 saya harus mengenalkan makanan padat untuknya. Artinya, saya harus masuk dapur. Artinya saya harus bersahabat dengan ulekan, bercengkerama dengan kompor, mengakrabi penggorengan, dan berparfum bawang. Aihhh… dengan kata lain: Neraka!

Eits! Jangan dulu dibayangkan neraka dengan iblis berbentuk panci, ulekan, penggorengan, kompor, dan kawan-kawan ya. Ini sih neraka versi saya, neraka dapur. Dapur itu seolah membuka ‘luka lama’. Lagi-lagi ‘luka lama’ ini versi saya, bukan versi band Cokelat yang liriknya ada kalimat mengenangmu menyesakkan jiwa. Sedikit mirip, tapi ‘luka lama’ versi saya adalah dapur. Ironisnya, dua orang yang membuat saya antidapur adalah suami dan ibu saya sendiri (tapi tetap jangan dibayangkan suami saya kayak iblis di neraka pake bando panah, suer suami saya lucu hihi…).

Alkisah tiga bulan setelah menikah, kami pindah ke rumah baru. Kami bersemangat 45 seperti pahlawan yang semangat bergerilya, bedanya pahlawan pegang bambu runcing, saya sih pegang ulekan. Dipasanglah kompor gas di dapur. Percobaan perdana sangat mengesankan, dapur kami hangus sodara-sodara! Kompor gosong, api besar, dapur hangus membuat suami saya panik. Refleks dia menyiramkan air ke api yang tentu saja apinya tidak langsung mati malah menjilat-jilat. Pengalaman pertama dengan dapur benar-benar tak terlupakan, masakan kami berjudul dapur hangus. Biar sedikit romantis (cieee…) dapur hangus ini saya jadikan judul blog saya biar anak cucu saya nanti membacanya.

Lalu ibu saya membuat saya trauma dapur lebih awal. Ibu saya orangnya cermat, salah satunya tak boleh mengupas bawang sampai ke dagingnya. Sayang katanya! Bagi yang sudah terbiasa memisahkan bawang dari kulit arinya sih gampang saja, tapi bagi saya lain lagi. Itu bencana hiks hiks… Eits, bukan bermaksud membicarakan ibu saya, bukan itu! Saya ambil hikmahnya saja, di usia 22 bulan, Vio sudah bisa mengupas bawang putih tanpa cacat. Lumayanlah meringankan pekerjaan dapur saya heheh… (jangan dilaporkan ke Kak Seto ya, ini hanya memanfaatkan potensi anak. Tapi kalau ada agensi iklan yang mau meng-hire Vio jadi bintang iklan kupas bawang sih boleh aja hihihi…)

Duh, jadi ngelantur kan. Ya pokoknya dapur itu jadi neraka dunia buat saya. Oya, ditambah lagi saya agak geuleuh dengan makanan yang blenyek-blenyek seperti bubur bayi. Jadi kebayang kan kegalauan saya ketika Vio akan mulai MPASI. Sudah tak suka dapur, tak bisa masak, ditambah merinding melihat bubur bayi menjadi paduan yang sungguh tak menguntungkan buat saya dan Vio.

Tapi syukurlah Tuhan tidak memberi saya cobaan yang lebih berat karena segitu saja sudah seperti mengangkat bola dunia dengan jari kelingking. Saya menemukan metode baby led weaning (BLW) yang dipopulerkan oleh Gill Rapley dari hasil berselancar di dunia maya. BLW intinya skip tahap puree dan mengenalkan tekstur asli makanan ke bayi. Orang tua hanya perlu mengikuti petunjuk bayi (baby led) kapan dia mau makan, kapan dia mau berhenti makan. Aha… inilah yang cocok buat kami berdua. Setidaknya bagi saya ya, sempat sebulan dua bulan belajar dulu membuat makanan bayi. Lalu apa MPASI pertama Vio? Kentang kukus, itupun ibu saya yang mengukus hehehe… Saya dan Vio (serta suami saya yang imut tadi) merasa pas dengan metode ini dan memutuskan Vio MPASI dengan full BLW tanpa spoon feed sama sekali.

Ketika Vio semakin ‘ganas’ melahap makanan, saya mulai ketar-ketir. Dia sudah membutuhkan sesi ngemil finger food di sela-sela makanan utama. Saya galau lagi nih ceritanya (sering banget galau ya kalau dipikir-pikir jadi kayak ABG aja ). Pucuk dicinta ulam tiba, ibu saya memiliki multipan yang bisa menjalankan fungsi memanggang. Tanpa basa basi, saya rampok multipan ibu saya (ga modal mode on). Multipan itulah bekal pertama saya memasuki dunia yang tadinya seperti neraka, dunia masak memasak.

Finger food pertama untuk Vio adalah kue keju (yang di dunia persilatan dikenal dengan nama cheese bliss). Saya sengaja membuat kue keju ini waktu mertu berkunjung biar dibilang menantu idaman hehehe… Rasanya enak, renyah, gurih. Apakah Vio suka? Tentu saja! Tapi tetap saja, emaknya jauh lebih suka. Komposisinya ¼ buat Vio dan ¾ buat emaknya hehehe… Percobaan perdana yang sukses besar ini membuat saya ketagihan memasak dan baking-baking. Dapur menjadi surga bagi saya, tapi berubah jadi neraka bagi suami karena saya jadi gemar beli ini itu buat dapur (maaf ya Pak Suami, yang penting kan homemade ).

Singkat kata, saya mulai suka memasak dan mencoba resep. Ketika Vio 11 bulan, saya sudah cukup mumpuni mengolah bahan makanan. Yah, walaupun belum bisa disamakan dengan Chef Vindex, saya mau dan ikhlas disandingkan dengan Chef Juna (maunya hihihi…). Dari mana saya belajar memasak? Ya tentu saja dari mbah paling pandai sedunia dan jagat raya, Mbah Google. Untung ada Mbah Google, kalau tidak pasti kasihan ibu saya sehari lima kali menerima telpon dari saya untuk menanyakan hal-hal remeh seperti, “Bu, merica sama ketumbar bedanya apa?” atau “Bu, kunyit itu yang kuning bukan sih?”

Ya ya ya, itulah masa lalu saya. Masa sekarang sudah jauh berbeda. Perlahan tapi pasti (pasti maksa suami maksudnya), saya mulai punya peralatan dapur mutakhir seperti oven listrik, panci presto, double pan yang tersohor karena Happy Salma, sampai printilan kecil seperti loyang dan cookie cutter. Sekadar info aja sih, panci presto belum lunas juga. Rasanya nunggu panci presto lunas itu kayak nunggu tahun 2050, luamaaaa… (keliling ke rumah admin HHBF minta sumbangan buat bayar panci presto *dipentung Ibu Ping karena OOT*).

Lanjut ya, sekarang saya bisa masak macam-macam makanan. Kalau dulu cuma bisa ngukus kentang, sekarang saya bisa bikin baked potato yang endang bambang (maaf minjem nama Pak Bambang sebentar :p). Kalau dulu pinter banget beli muffin di bakery, sekarang dengan bangga saya siarkan ke seluruh dunia kalau saya bisa membuat muffin yang enak walaupun resepnya kira-kira saja (suerr ga bohong, nanti kalau menang saya bagi muffin ketan hitam satu-satu buat member HHBF hihi…).

Bahkan, kalau lagi kesambet setan dari Papua, saya bisa saja jam 11 malam koclok-koclok telur pakai whisker buat bikin brownies (ini superkode biar menang mixer maksudnya hahaha..). Kalau lagi kesambet setan dari Betawi, saya bisa tiba-tiba bikin nasi uduk jam 1 pagi. Lain lagi kalau kerasukan setan dari Bali, saya tiba-tiba saja bisa ungkep ayam jam 3 pagi. Wah, masa sih masak tergantung asal geografis setan? Tenang, sebentar lagi zona waktu digabung sama pemerintah jadi jam tidur setan Papua bakal sama dengan saya yang di Bandung (sssttt… udah liat pentung karena ngelantur nih!).

Makanan favorit keluarga kami sebenarnya sederhana. Seperti mobil Esemka, 90 persen lidah kami terbuat dari onderdil lokal hihihi… Jadi, sebagian besar menu Indonesia tercinta seperti sayur asem, sayur bening, rendang daging, opor, rawon lolos uji emisi oleh pencernaan kami. Sisanya 10 persen diimpor dari RRC (karena suka capcay), Italia (karena kadang-kadang pasta), dan Jepang (karena suka katsu-katsuan).

Jadi tulisan ini maksudnya apa sih? Nglantur ngalor ngidul ga jelas. Poin utamanya dan yang paling penting adalah. Kalau saya yang tadinya ga suka masak, alergi dapur, ga betah diam di rumah saja akhirnya bisa mengakrabi dapur, yang lain juga pasti bisa dong. Masalah rasa nomor sekianlah, masalah penampilan nomor sekian lagilah (susah mau menyesuaikan penampilan dengan Farah Quinn sih ya ), yang penting masakan yang kita sajikan di rumah makanan sehat, mengandung unsur yang lengkap. Kalaupun mau masak soto Bandung jadinya coto Makasar pun ga pa pa, yang penting masih sama-sama soto (idih, ini sih saya aja kayaknya masak apa tapi rasanya apa).

Jelas sekali semangat saya biar Vio makan sehat membawa saya ke jalan yang benar untuk suka memasak. Aminnn… Saya yang tadinya ingin berkarir, stress kalau diam di rumah terus akhirnya memilih mengendurkan niat berkarir setelah tahu memasak sama menantangnya dengan bekerja kantoran. Serius, kali ini saya super duper serius. Masih terpatri jelas di ingatan saya bagiamana deg-degannya menanti cheese bliss matang itu sama dengan menanti kalimat, “Mau nggak kamu jadi istriku.” (uhuk-uhuk).

Saya menemukan sensasi kebahagiaan lain dengan memasak makanan rumahan untuk keluarga kecil saya. Kebahagiaan yang sederhana seperti berhasil membuat sambal ala Bu Rudy yang ngetop seantero jagat mengalahkan Miss Universe. Semakin lengkap kebahagiaan saya melihat suami lahap makan karena sambel bikinan saya (walaupun akhirnya sih bolak balik ke toilet, itu nggak termasuk klaim asuransi masakan saya :p). Semakin bahagia pula ketika melihat Vio penasaran dengan apa yang saya lakukan di dapur, sampai akhirnya saya delegasikan masalah mengupas bawang putih kepadanya.

Akhir-akhir ini malah saya punya hobi baru yang sensasinya membuat fly melebihi ekstasi. Bongkar-bongkar dokumen dan foto di HHBF, catat resep ini itu, browsing resep-resep bersama Mbah Google, serta main-main ke blog-blog memasak. Semuanya benar-benar membuat saya fly, semangat saya terbang untuk memasak. Ada satu buku khusus yang isinya resep-resep andalan saya, walaupun buku itu pada akhirnya lebih banyak diisi Vio dengan coretan-coretannya. Buku itu, blog saya, dan tulisan ini menjadi saksi bagaimana perjalanan saya belajar memasak. Saya persembahkan Dapur Hangus untuk Vio dan adik-adiknya nanti.

Lalu apa? Cukupkah hanya bahagia? Ya dicukup-cukupkan sajalah. Saya berbahagia menjadi chef keluarga.

Salam Homemade 😀

Homemade Healthy Baby Food, padahal Vio BLW, saya ga pernah bikin makanan bayi hehehe...

Homemade Healthy Baby Food, padahal Vio BLW, saya ga pernah bikin makanan bayi hehehe…

***
NB: Tadinya sih tulisan ini mau dibikin posting pertama di blog, tapi karena pengumuman lomba waktu itu mundur, jadi ga jadi deh, saya bikin lagi Mengapa Dapur Hangus yang lebih ringkas :D.

 
 

Tags: , ,

27 responses to “Chef Abal-abal Jadi “Penulis”

  1. Liza Fathia

    June 30, 2013 at 11:46 pm

    selamat ya mak. akhirnya punya buku antologi. semoga ke depan bisa menerbitkan buku sendiri

     
    • Ika Rahma

      July 1, 2013 at 12:02 am

      makasih mak :), buku sendiri udah ada kok hehehe…

       
  2. KhadijaMedia (@sitihairul)

    July 1, 2013 at 12:21 am

    selamat mak..ikut seneng #uhuk-uhuk..minta dilempar mikser 🙂

     
  3. Esti Sulistyawan

    July 1, 2013 at 5:45 am

    Saya dulu juga ngrasa, masuk dapur bagaikan neraka Mak
    Karena kebutuhan, sekarang malah hobi masak haha

     
  4. citra

    July 1, 2013 at 6:57 am

    Selamat ya ika.. Smg sukses terus, bikin buku-buku lagi…

     
  5. andiahzahroh

    July 1, 2013 at 8:56 am

    Pengeen bukunya buat persiapan anak kedua 😀

     
    • Ika Rahma

      July 1, 2013 at 9:15 am

      Beliiii… 😀

       
      • andiahzahroh

        July 1, 2013 at 9:25 am

        ada di Gramedkah mbak?

         
      • Ika Rahma

        July 1, 2013 at 9:36 am

        ada di Gramed, bisa beli di grup HHBF atau Dapur Hangus juga bisa 🙂

         
  6. Ceritaeka

    July 1, 2013 at 11:14 am

    Whooaaa keren, mbak! 🙂

     
  7. curhatgakpenting

    July 1, 2013 at 1:30 pm

    keren mbak, saya suka banget sama gaya tulis mbak 🙂
    salam kenal 🙂

     
  8. Lia

    July 1, 2013 at 1:40 pm

    Sejarah yang mengesankan. 🙂
    Kebahagiaan memasak itu, saat lahap dimakan keluarga. Suweneng bgt liatnya..

    Sukses selalu.

     
  9. nyonyasepatu

    July 1, 2013 at 2:47 pm

    Selamat yaaaa, ilustrasinya emang lucu hihi

     
  10. Ie

    July 1, 2013 at 3:02 pm

    cieeeeeeeeeee…. kereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnn nih…

    #ikutan seneng deh.. 😀

     
    • Ika Rahma

      July 3, 2013 at 10:06 am

      ahihihiwwww…. *tersapu-sapu*

       
  11. Lidya

    July 1, 2013 at 4:11 pm

    minta bukunya ya hehehe

     
  12. Lia Pixelmint

    July 1, 2013 at 11:11 pm

    Inspiratif banget teh….suka tulisannya 😀 😀 Bikin jadi makin semangat untuk eksperimen resep2 baru hasil rampokan dari mbah google (walopun selama ini lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya..hahaha)

     
    • Ika Rahma

      July 3, 2013 at 10:06 am

      eh eh tapi yang nulis skrg ga suka masak loh, ga sempet…

       
  13. Lusi

    July 3, 2013 at 3:21 pm

    Waaah asik yaaa…. Dengan dibukukan kita juga belajar tertib bahasa dan tertib dokumen. Kalau rapi nglihatnya lebih enak, mau sharing juga gampang, mau diwariskan oke juga. Selamat ya mak. Aku juga bikin blog masak gara2 habis dibelikan oven, jadi harus tanggung jawab bikin kue sendiri setiap hari. Berhubung newbie yaaah gitu deh banyak rusaknya hahahaaa. Ini linknya tp jangan diketawain ya http://chefaunty.blogspot.com/

     
    • Ika Rahma

      July 4, 2013 at 8:07 pm

      horeee… oven baru blog baru jugaaaa ^^

       
  14. lampumerah

    July 17, 2013 at 12:46 pm

    wah wah… nama blognya lucu banget… dapur hangus…
    ternyata memang gaya berceritanya bebas banget…
    hangus sehangus hangusnya…
    asik baca tulisannya…

    keren yah bisa masuk ke buku itu karyanya…
    asik banget (bener kalo bangga sampai kiamat)
    eksistensi buat penggemar tulisan emang penting banget
    seperti kata kata Pramoedya Ananta Toer…
    manusia tanpa tulisan itu seperti manusia tanpa sejarah hidup.. ^_^

    semoga makin sukses dengan hobi dan passionnya yah ^_^d

     
  15. dedy oktavianus pardede

    July 23, 2013 at 11:01 pm

    Ntar beli eh klo dah punya bayi…hehehe

     
    • Ika Rahma

      July 25, 2013 at 6:34 pm

      hehehe…silahkan :D, sekalian nanti buku ke-2nya mas

       
  16. Messa

    August 16, 2013 at 7:23 am

    hahahha kocak sekali gaya menulis mbak 😀 kayaknya aku resmi deh jadi fans mbak sekarang 😀

     
  17. sayajulia

    November 26, 2013 at 8:59 am

    Waktu bikin kentang kukus buat makanannya pake garam ga? Hehhe

     

Leave a reply to nyonyasepatu Cancel reply